ASPEK
PERPAJAKAN DAN PENDAPATAN NEGARA NON
PAJAK SERTA PAJAK DAERAH
DALAM
INDUSTRI
PERTAMBANGAN MINERBA
Oleh
: Ary Brotodihardjo
I.
PENDAHULUAN
Sesuai dengan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 4 tahun 2009, tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
seperti tersebut dalam Pasal 1 Angka 1, yang menyatakan bahwa : Pertambangan
adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,
pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan
umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta kegiatan pasca tambang.
Dengan demikian secara garis besar, perusahaan yang bergerak dalam
bidang usaha industri pertambangan, mempunyai siklus usaha, meliputi :
·
Penyelidikan umum,
·
Eksplorasi,
·
Studi Kelayakan,
·
Konstruksi,
·
Pertambangan/Eksploitasi,
·
Reklamasi
II.
KEWAJIBAN PERPAJAKAN DAN PENDAPATAN
NEGARA/DAERAH LAINNYA
Dalam siklus usaha tersebut mengandung kewajiban perpajakan, yaitu :
A.
KEGIATAN TEKNIS PERTAMBANGAN (BORONGAN)
1.
Penyelidikan Umum
Untuk
menentukan potensi mineral pada suatu daerah tertentu, perlu dilakukan
pengujian geologis, yang dilakukan dengan menggunakan Jasa dari Peneliti
Geologis sebagai Peneliti.
Jasa
Peneliti (pihak lain) merupakan obyek PPN dan PPh Pasal 23/26 dengan subyek
pajak adalah pelaksananya.
2.
Eksplorasi
Merupakan rangkaian
kegiatan penelitian, pengujian kandungan mineral, pemetaan wilayah dan kegiatan
lainnya yang dibutuhkan untuk mendapatkan informasi tentang lokasi, dimensi,
sebaran, kualitas dan sumber daya serta info lingkungan social dan lingkungan
hidup.
Jasa atas kegiatan ini (pihak lain) merupakan obyek PPN dan PPh Ps.
23/26 dengan subyek pajak adalah pelaksananya.
3.
Studi Kelayakan
Dibutuhkan sebagai
informasi kelayakan ekonomis dan teknis pertambangan, proses analisis mengenai
dampak lingkungan serta perencanaan pasca tambang.
Studi Kelayakan tersebut
memuat data dan keterangan mengenai usaha pertambangan tersebut, yang dilakukan
oleh ahli mengenai hal tersebut.
Atas jasa kegiatan pengujian
ini (pihak lain), maka kewajiban pajak yang melekat adalah PPN dan PPh Ps. 23.
4.
Konstruksi
Siklus
kegiatan selanjutnya setelah diketahui bahwa proyek pertambangan layak secara
ekonomis, teknis dan lingkungan, maka dilakukan pengembangan infrastruktur.
Pembangunan infrastruktur biasanya dilakukan oleh perusahaan konstruksi,
sehingga Jasa Konstruksi (pihak lain) terkena
PPN dan PPh Pasal 4 ayat (2).
5.
Pertambangan/Eksploitasi :
Kegiatan Eksploitasi ini
pada umumnya meliputi kegiatan :
a.
Proses
pembukaan lahan (land clearing),
b.
Pengeboran
dan Penggalian,
c.
Pengolahan
dan pemurnian
d.
Pengangkutan
dan Penjualan
Atas
Jasa yang dilakukan oleh pihak lain tersebut, ditetapkan kewajiban perpajakan
PPh Ps. 23/26 dan PPN
6.
Reklamasi
Reklamasi adalah proses
rehabilitasi lingkungan yang rusak akibat kegiatan penambangan. Apabila proses
reklamasi dilakukan oleh pihak lain, maka memiliki kewajiban pajak berupa PPh
Pasal 23/26 dan PPN.
B.
PPh Ps. 21
Kewajiban PPh Ps. 21
ditetapkan untuk :
1. Pegawai Tetap,
2. Pegawai Tidak Tetap,
3. Orang Pribadi yang bukan pegawai
C.
Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB) :
1.
Undang-Undang/Peraturan/Surat Edaran
Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 1985 Tentang pajak Bumi dan Bangunan yang menjadi obyek pajak
bumi dan bangunan adalah bumi dan/atau bangunan dan yang menjadi subyek pajak
adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi,
dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau
memperoleh manfaat atas bangunan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 1
Angka 8, Sektor Pertambangan adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi
areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua golongan yaitu bahan
galian strategis, bahan galian vital dan bahan galian lainnya;
Pengenaan PBB sektor pertambangan mineral
dan batubara (minerba) diatur di dalam :
a.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-32/PJ/2012 tanggal 28 Desember 2012 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi
dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Mineral dan Batubara,
b.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-64/PJ/2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-32/PJ/2012. Di dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang
dimaksud dengan PBB Mineral dan Batubara adalah PBB atas bumi dan/atau bangunan
yang berada di kawasan yang digunakan untuk kegiatan pertambangan mineral dan
batubara.
Kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minerba
meliputi wilayah izin pertambangan atau wilayah pertambangan sejenis dan
wilayah di luar wilayah izin pertambangan atau wilayah pertambangan sejenis
yang merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan
Minerba.
2.
Obyek Pajak Bumi dan
Bangunan
a.
Objek pajak bumi dapat
dibagi 2(dua) yaitu :
1)
Permukaan bumi yang
meliputi tanah dan/atau perairan pedalaman (onshore) dan/atau perairan lepas
pantai (offshore),
2)
Tubuh bumi yang berada
di bawah permukaan bumi.
Permukaan bumi untuk areal onshore meliputi : areal produktif,
areal belum produktif (areal cadangan produksi dan areal yang belum
dimanfaatkan), areal tidak produktif, areal emplasemen, dan areal pengaman.
Tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi terdiri dari
tubuh bumi untuk kegiatan eksplorasi dan tubuh bumi untuk kegiatan operasi
produksi.
b.
Obyek pajak bangunan adalah konstruksi teknik
yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada areal onshore dan/atau areal
offshore.
3.
Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
Dasar pengenaan dari PBB sektor pertambangan Minerba adalah NJOP
yang merupakan penjumlahan dari NJOP bumi dan NJOP bangunan.
NJOP bumi areal onshore atau areal offshore merupakan hasil
perkalian antara total luas areal yang dikenakan dengan NJOP bumi per meter
persegi, sedangkan NJOP tubuh bumi baik yang eksplorasi atau yang kegiatan
operasi produksi merupakan hasil perkalian antara luas Wilayah Kerja dengan
NJOP bumi per meter persegi.
NJOP bumi per meter persegi tersebut merupakan hasil konversi
nilai bumi per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bumi yang tercantum di
dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bumi.
NJOP bangunan merupakan hasil perkalian antara total luas
bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi, dimana NJOP bangunan per meter
persegi merupakan hasil konversi nilai bangunan per meter persegi ke dalam
klasifikasi NJOP bangunan yang tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan
tentang klasifikasi NJOP Bangunan.
Nilai
bumi per meter persegi masing-masing areal ditentukan sebagai berikut:
a.
Areal onshore merupakan hasil pembagian
antara total nilai bumi dengan total luas areal onshore.
Total nilai bumi merupakan jumlah dari perkalian luas
masing-masing areal dengan nilai bumi per meter persegi masing-masing areal,
dimana nilai bumi per meter persegi untuk areal belum dimanfaatkan dan areal
emplasemen ditentukan melalui perbandingan harga tanah sejenis, dan areal
cadangan produksi, areal tidak produktif, dan areal pengaman ditentukan melalui
penyesuaian terhadap nilai bumi per meter persegi untuk areal belum
dimanfaatkan.
b.
Tubuh bumi operasi produksi merupakan hasil
pembagian antara nilai bumi untuk tubuh bumi operasi produksi dengan luas
Wilayah Kerja.
Nilai bumi untuk tubuh bumi operasi produksi merupakan perkalian
Angka Kapitalisasi dengan hasil bersih galian tambang dalam satu tahun sebelum
Tahun Pajak.
Hasil bersih ditentukan melalui pengurangan pendapatan kotor
dengan biaya produksi galian tambang sedangkan besarnya Angka Kapitalisasi
ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
c.
Areal offshore dan tubuh bumi eksplorasi
ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Nilai bumi per meter persegi untuk areal offshore ditentukan
dengan mempertimbangkan rata-rata nilai bumi untuk areal daratan terdekat
dengan areal offshore di wilayah Indonesia.
d.
Sesuai dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan
Bangunan pada Pasal 8, Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas objek Pajak Sektor
Pertambangan Non Migas selain Pertambangan Energi Panas Bumi dan Galian C
ditentukan sebagai berikut :
1)
Areal Produktif adalah sebesar 9,5 x hasil bersih galian tambang
dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan.
2)
Areal belum produktif, tidak produktif dan emplasemen serta
areal lainnya didalam atau diluar wilayah kuasa pertambangan, adalah sebesar
Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.
3)
Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar Nilai Jual Objek
Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 15.
e.
Sesuai dengan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-47/PJ.6/1999 Tentang Penyempurnaan Tata Cara
Pengenaan PBB Sektor Pertambangan Non Migas
Selain Pertambangan Energi Panas Bumi Dan Galian C sebagaimana Diatur Dengan Surat Edaran Nomor
: Se-26/Pj.6/1999, pengenaan PBB atas areal belum produktif dan areal tidak
produktif disempurnakan dengan memperhitungkan tahapan kegiatan penambangan
sebagai berikut :
1)
Penyelidikan umum, adalah sebesar 5% dari luas areal Wilayah
Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana
ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas
nama Menteri Keuangan;
2)
Eksplorasi pada tahun ke-satu s/d ke-lima, masing-masing sebesar
20% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak
berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
3)
Eksplorasi untuk perpanjangan I dan II, adalah sebesar 50% dari
luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa
tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
4)
Pembangunan Fasilitas Eksploitasi (konstruksi) sampai dengan
produksi adalah luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek
Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan.
D.
IUP atau IUPK
UU Minerba yang baru yaitu
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 (UU No. 4/2009) tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara menggantikan UU No. 11/1967.
Usaha pertambangan sesuai dengan
Pasal 35 UU No. 4/2009 dilaksanakan dalam bentuk:
1.
IUP atau Izin Usaha Pertambangan,
2.
IPR atau Izin Pertambangan Rakyat, dan
3.
IUPK atau Izin Usaha Pertambangan Khusus. Ketentuan Fiskal (Perpajakan)
Pasal 128 menyatakan bahwa Pemegang
IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah.
Pendapatan negara yang dimaksud yang
terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Adapun penerimaan
pajak yang dimaksud terdiri atas pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan serta
bea masuk dan cukai.
Sedangkan penerimaan negara bukan
pajak terdiri atas iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran produksi, dan
kompensasi data informasi. Dalam hal pendapatan daerah terdiri atas pajak
daerah, retribusi daerah dan pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
III.
KETENTUAN FISKAL LAINNYA
A.
Tarif perpajakan mengikuti peraturan perundang-undangan yang
berlaku dari waktu ke waktu/prevailing law (Pasal 133 Ayat 3 dan Ayat 5, Pasal
136).
B.
Adanya kewajiban perpajakan tambahan sekitar 10%, yakni 6% untuk
pemerintah pusat dan 4% untuk pemerintah daerah (Pasal 134 Ayat 1).
C.
Besaran tarif iuran produksi (royalty) ditetapkan berdasarkan
tingkat pengusahaan, produksi dan harga (Pasal 137 Ayat 1).
IV.
DINAMIKA PERPAJAKAN
Dengan dibentuknya KPP Pertambangan
dan KPP Migas, maka Direktorat Jenderal
Pajak dapat semakin menggali penerimaan dari kedua sektor tersebut.
Selain itu, dengan dikeluarkannya PP
No 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan Dan Perlakuan
Pajak Penghasilan (PPh) di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas),
dimana jenis biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan dalam penghitungan
bagi hasil dan PPh, yang dulunya hanya mencakup 5 biaya, sekarang mencakup 21
biaya, maka tunggakan-tunggakan pajak perusahaan migas diharapkan dapat
diselesaikan lebih cepat.
Langkah Direktorat Jenderal Pajak
dengan membentuk KPP Pertambangan dan KPP Migas juga untuk memenuhi harapan
besar masyarakat luas agar DJP tegas dalam menagih tunggakan-tunggakan pajak
perusahaan-perusahaan besar pertambangan dan migas.
Pembentukan KPP Pertambangan dan KPP
Migas diharapkan oleh Pemerintah agar dapat memenuhi harapan masyarakat
Indonesia akan adanya keadilan dalam membayar pajak antara
perusahaan-perusahaan besar migas dan pertambangan dengan perusahaan-perusahaan
menengah dan kecil di Indonesia yang juga wajib bayar pajak.
V.
PERLAKUAN
AKUNTANSI DAN PERPAJAKAN ATAS BIAYA PRA OPERASI (Pre Operating Cost)
Terdapat
cukup banyak praktisi Akuntansi di berbagai perusahaan yang keliru memperlakukan Biaya Pra-Operasi
dalam pelaporan keuangannya. Kerap
ditemukan Biaya Pra=Operasi yang timbul
sebelum perusahaan beroperasi secara
komersial, dimasukkan seluruhnya sebagai
Biaya Ditangguhkan di Neraca.
Menurut PSAK
6 mengenai Akuntansi dan Pelaporan bagi perusahaan dalam tahap pengembangan,
dalam Paragraf 5, diatur secara jelas, bahwa : Prinsip Akuntansi yang berlaku
umum berlaku untuk semua perusahaan
dalam tahap pengembangan (pra-operasi) baik dalam pengakuan pendapatan
maupun dalam menentukan apakah biaya
dibukukan sebagai beban pada periode berjalan, atau ditangguhkan pembebanannya
(dikapitalisasi) untuk
disusutkan/diamortisasi selama periode
sesuai dengan pemulihan manfaatnya di
masa depan. Penangguhan pembebanan tersebut
hanya terbatas pada biaya-biaya yang memiliki masa manfaat di masa
depan yang antara lain meliputi beban pendirian perusahaan
Dari
paragraph tersebut diatas, jelas bahwa tidak semua biaya yang timbul selama
perusahaan masih dalam kondisi
pra-operasi dapat ditangguhkan
(dikapitalisasi). Penangguhan pembebanan hanya diperbolehkan sebatas untuk biaya yang nyata-nyata dapat memberikan manfaat untuk dapat lebih
dari satu periode Akuntansi.
Untuk biaya
yang tidak memenuhi criteria tersebut seperti misalnya, biaya kantor, biaya
umum harus langsung dibebankan dalam laba rugi tahun berjalan.
Peraturan
Perpajakan juga mengatur perlakuan pencatatan fiscal atas biaya pra-operasi. Dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang
diubah terakhir dengan UU No. 17 tahun
2000 pasal 11A ayat 6, dijelaskan bahwa
: Pengeluaran yang dilakukan sebelum
operasi komersial yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat 2.
Kemudian,
dalam bagian Penjelasan diuraikan lebih jauh bahwa dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan
sebelum operasi komersil (yang dapat
dikapitalisasi/ditangguhkan) adalah
biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum
operasi komersil, misalnya : biaya strudi kelayakan, biaya produksi percobaan,
tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti Gaji
Pegawai, Biaya Rekening Listrik dan Telepon,
dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang bersifat
rutin ini, tidak dapat dikapitalisasi tetapi
dibebankan sepenuhnya pada pada
tahun pengeluaran tersebut.www.facebook.com/arymanagement